Al-Qur'anul Karim

Al-Qur'anul Karim

Sabtu, 24 Maret 2012

8 Penyakit Ancaman yang Dapat Merusak Masa Depan

1. sesak dada (tidak pandai mensyukuri nikmat)
2. gelisah
> jika memiliki 1 dan 2, maka akan timbul :
3. lemah (lemah mental dan lemah kemauan)
4. malas
> jika memiliki 3 dan 4, maka akan timbul :
5. pengecut
6. kikir
> jika memiliki 5 dan 6, maka akan timbul :
7. dikuasai Hutang
8. didominasi oleh manusia (mau di perintah, di perbudak oleh manusia)
maka dari pada itu, marilah kita menjaga diri dari sifat yg demikian, mari merdo'a semoga allah melindungi kita semua.

Jumat, 02 Maret 2012

Bingkisan Istimewa Buat Para Imam Masjid


Bismillah, Alhamdulillah washalaatu wassalaamu ‘alaa Rasuulillah.
Ama ba’du.

            Saudaraku seimanyang dirahmati Allah SWT, pada kesempatan yang berbahagia ini akan kita bahas permasalahan seputar adab-adab yang harus dilakukan oleh seorang imam dalam shalatnya bersama makmum. Selamat membaca !

Keutamaan seorang imam
Rasulullah SAW berdo’a : 
“Ya Allah bimbinglah para imam.” (Hadits Shahih, Irwa’ : 1/231)

Siapa yang berhak menjadi imam ?
            Rasulullah SAW bersabda: “Hendaknya yang menjadi imam pada suatu kaum adalah yang paling aqra’ maka jika mereka dalam qira’ah (bacaan) sama, maka yang paling paham pada sunnah, jika sama maka yang paling dahulu hijrah, jika sama maka yang paling dahulu masuk Islam.” (HR.Muslim: 673, Abu Dawud: 582)
            Yang dimaksud dengan aqra’ adalah orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya, sebagaimana dalam hadits Amr bin Salamah ra: “Hendaknya yang mengimami kalian adalah yang paling banyak (hafalan) Al-Qur’annya.” (HR. Muslim: 289, Nasai: 780 dan Ahmad: 3/24, 48)[1]
            Jika ada dua orang, yang satu paling banyak hafalannya dan yang satu lagi seorang faqih (tapi hafalannya tidak banyak) maka yang menjadi imam adalah yang paling banyak hafalannya menurut pendapat yang paling kuat. Namun, dengan syarat hendaknya ia paham terhadap perkara-perkara yang wajib diketahui perihal shalat. Adapun jika ia jahil (bodoh) maka tidak boleh jadi imam menurut kesepakatan para ulama.[2]

Adab-adab imam dalam shalat

1.   Merapatkan dan meluruskan shaf shalat
Dari Nu’man bin Basyir ra berkata: “Rasulullah SAW meluruskan shaf-shaf kami hingga seolha-seolah beliau sedang meluruskan kayu anak panah sehingga beliau melihat bahwasanya kami telah paham (keharusan meluruskan shaf). Kemudian pada suatu hari beliau keluar lalu berdiri (untuk shalat) hamper-hampir saja beliau bertakbir tiba-tiba beliau melihat ada seseorang yang menonjolkan dadanya dari shaf maka beliau bersabda: “Wahai hamba-hamba Allah! Kalian luruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan memalingkan antara wajah-wajah kalian.” (HR. Muslim: 436)

2.   Menghadap ke sutrah
Dari Abu Sa’id al-Khudri  ra, secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah SAW): “Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka hendaknya ia mendekati sutraaahhh.” (Hadits Hasan Shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud: 1/135)
Sutrah adalah pembatas antara orang yang shalat dengan kiblat sehingga tidak ada sesuatu yang lewat antara orang yang shalat dengan sutrah tersebut. Sutrah dapat berupa tembok, tiang, punggung manusia, hewan yang menderum, tombak, atau sesuatu yang tingginya minimal setara dengan pelana unta, sebagaimana dalam hadits Muslim no. 499. Pelana unta setinggi satu hasta seperti yang telah dijelaskan oleh Atha’, Qatadah, Ats-Tsauri dan Nafi’. Sedangkan yang dimaksud dengan satu hasta adalah antara ujung siku sampai ujung jari tengah. Jika diukur, maka tingginya sekitar 46,2 cm atau setinggi dua jengkal. Lihat Lsianul Arab (3/1495), Mu’jam Lughah al-Fuqaha’ (hal. 450-451)

3.   Meringankan  sholat  dengan  cara menjaga   kesempurnaannya
Rasulullah  SAW  bersabda : “Jika salah seorang  di antara kalian mengimami manusia  maka hendak  nya ia meringankan  (shalatnya ) , karena di antara mereka  ada anak kecil , orang tua , orang sakit (orang  yang ada kebutuhan ). Maka  jika  ia  shalat sendirian  maka shalatnya semaunya saja (memperpanjang, Pen )”.( HR.Bukhari : 703 dan Muslim: 467)

Anas bin Malik RA berkata : “Adalah  rasulullah SAW memendekkan shalat dan menyempurnakannya”. (HR. Bukhari: 706 dan Muslim: 469)
Takhfif  (meringankan )ada dua macam :
            Pertama : takhfif lazim (tetap ) yaitu takhfif  yang tidak melampaui  petunjuk  nabi  (sunnah) maka jika  sampai  melewati batasan  sunnah maka ini termasuk memperpanjang alias tidak takhfif  (dan terlarang ,PEN ) . sebagaimana sabda beliau :”jika salah  seorang  di antara kalian menjadi  imam maka hendaknya  ia meringankan “. (HR.Bukhari :703 dan muslim :467) 
            Kedua :takhfif ,aaridh(tidak tetap )yaitu munculnya suatu sebab yang mengharuskan  untuk meringankan shalatdi bawah takhfif  yang dating dalam sunnah . sebagai mana yang di lakukan Rasulullah SAW tatkala mendengar tangisan bayi. Kedua takhfif ini adalah sunnah nabi SAW.  
Bagaimana Takhfif yang Sunnah ?
            Takhfif di atas masih bersifat mutlak (umum), yang seharusnya dikembalikan pada tuntunan Nabi dan apa yang beliau lakukan, sedang petunjuk yang beliau lakukan adalah hakim yang memutuskan perkara yang diperselisihkan.
            Ibnu Umar ra menuturkan: “Adalah Rasulullah SAW menyuruh kami untuk meringankan shalat dan beliau membaca surat ash-Shaaffaat tatkala mengimami kami. (Shahih Sunan Nasai 1/272)
            Imam Ibnul Qayyim berkata: “Maka membaca surat ash-Shaaffaat adalah takhfif yang diperintahkan, Wallahu A’lam.” (Zahul Ma’ad, 1/214)


1.      Rakaat pertama hendaknya lebih panjang dari rakaat kedua
Dari Abu Sa’id al-Khudri ra berkata: “Sungguh shalat dzuhur sedang ditegakkan, maka ada salah seorang pergi ke Baqi’ untuk menunaikan hajatnya kemudian ia mendatangi keluarganya lalu berwudhu’ kemudian ia kembali ke masjid sedangkan Rasululllah SAW masih pada rakaat pertama karena beliau memanjangkannya. (HR. Muslim: 454)

2.      Dua rakaat pertama lebih panjang dari dua rakaat terakhir pada setiap shalat
Sebagaimana dalam hadits Jabir bin Samurah ra bahwasanya Sa’ad ra berkata kepada Umar bin Khaththab ra: “Sesungguhnya aku mengimami mereka sebagaimana shalatnya Rasulullah SAW. Dan tidaklah aku menyimpang dalam shalat tersebut. Sesungguhnya aku hanya memanjangkan dua rakaat pertama dan memendekkan dua rakaat lainnya.” (HR. Bukhari: 770 dan Muslim: 453)

3.      Memperhatikan perkara yang lebih maslahat bagi makmum selama tidak menyelisihi sunnah
Sebagaimana dalam hadits Jabir ra bahwasanya Rasulullah SAW menyegerakan (mengawalkan) shalat isya’ jika para sahabat sudah berkumpul dan beliau mengakhirkannya jika mereka belum berkumpul[3]. (HR. Bukhari: 560 dan Muslim: 646)

4.      Tidak shalat sunnah pada tempat ia shalat fardhu di situ
Dari al-Mughirah bin Syu’bah ra secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah SAW) berkata: “Janganlah imam shalat subbah pada tempat yang ia shalat fardhu di situ hingga ia bergeser. (Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Misykatul Mashabih: 1/300)
Dan diantara para sahabat yang membenci perkara ini adalah Ali bin Abi Thalib ra, Ibnu Umar ra, Abdullah bin Amr ra, Abu Hurairah ra, Muawiyyah ra, dan dari kalangan tabi’in adalah Sa’id bin Musayyib dan Hasan al-Bashri. Demikian pula Imam Ahmad, Imam an-Nawawi, dan Imam asy-Syaukani.

5.      Menghadapkan wajah ke hadapan makmum sesudah salam
Dari Samurah bin Jundub ra berkata: “Adalah Rasulullah saw jika telah shalat maka beliau menghadapkan wajahnya pada kami.” (HR. Bukhari: 845)
Imam Bukhari berkata: “Bab, Imam  menghadap makmum jika telah salam”. (Fathul Bari, 2/430)

6.      Tidak berlama-lama duduk menghadap kiblat setelah salam
Dari Aisyah ra: “Adalah Rasulullah SAW tidak duduk (setelah salam, Pen.) kecuali hanya sekedar membaca : 
Kemudian beliau menghadap ke arah makmum.” (HR. Buhkari: 845 dan Muslim: 591)


1.      Tidak mengkhususkan do’a untuk dirinya sendiri[1]
Dari Abu Hurairah ra secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah SAW): “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mengimani suatu kaum kecuali dengan izin mereka, dan janganlah ia mengkhususkan do’a untuk dirinya sendiri tanpa mengikut sertakan makmumnya maka jika ia melakukan itu sngguh ia telah berkhianat.” (Shahih Sunan Abi Dawud, 1/35)

2.      Menghadap makmum setelah salam kadang ke arah kanan dan ke kiri
Ibnu Mas’ud ra berkata: “Janganlah sampai ada diantara kalian ada di antara kalian memberikan pada syaithan sefikitpun dari shalatnya, di mana ia melihat bahwa yang benar adalah tidak berpaling kecuali ke arah kanan, sungguh aku sering melihat Rasulullah SAW berpaling ke arah kiri.” (HR. Bukhari: 852 dan Muslim:707)
Namun di sana ada hadits lain yang menyebutkan sebaliknya, yaitu hadits dari sahabat Anas bin Malik ra beliau berkata, “Adapun saya sering melihat beliau berpaling ke arah kanan.” Dalam lafadz Muslim: “Rasulullah saw berpaling ke arah kanan.” (HR. Muslim: 708)
Imam Nawawi mengatakan: “Maka cara menggabungkan kedua hadits tersebut adalah bahwasanya Nabi SAW terkadang berbuat begini (menghadap ke kiri) dan kadang berbuat begini (menghadap ke arah kanan).” (Syarh Shahih Muslim, 5/227 dan Fathul Bari, 2/338)

3.      Tidak shalat pada tempat yang sangat tinggi dari para makmum kecuali ia bersama sebagian shaf dan adapun makmum maka tidak mengapa. (Syarh Mumti’: 4/423-426, al-Mughni: 3/48, dan Fiqh Sunnah: 1/311)
Itulah beberapa adab yang harus diperhatikan bagi imam shalat berjamaah, mudah-mudahan menjadi pegangan berharga bagi setiap imam yang ingin untuk mengikuti sunah Nabi yang mulia. Wallahu A’lam.


∞ Abu Lutfia al-Atsari    


[1]  Semisal doa qunut dan lainnya


[1]  Fiqh Sunnah, 1/305 Sayyid Sabiq
[2][2]  Shahih Fiqh Sunnah, 1/522 penulis menukil dari Fathul Bai
[3]  Adapun selain Isya’ maka beliau menyegerakannya kecuali shalat Dzuhur tatkala udara panas