Bismillah,
Alhamdulillah washalaatu wassalaamu ‘alaa Rasuulillah.
Ama
ba’du.
Saudaraku seimanyang dirahmati Allah
SWT, pada kesempatan yang berbahagia ini akan kita bahas permasalahan seputar
adab-adab yang harus dilakukan oleh seorang imam dalam shalatnya bersama
makmum. Selamat membaca !
Keutamaan
seorang imam
Rasulullah
SAW berdo’a :
“Ya
Allah bimbinglah para imam.” (Hadits Shahih, Irwa’ : 1/231)
Siapa
yang berhak menjadi imam ?
Rasulullah SAW bersabda: “Hendaknya
yang menjadi imam pada suatu kaum adalah yang paling aqra’ maka jika mereka
dalam qira’ah (bacaan) sama, maka yang paling paham pada sunnah, jika sama maka
yang paling dahulu hijrah, jika sama maka yang paling dahulu masuk Islam.”
(HR.Muslim: 673, Abu Dawud: 582)
Yang dimaksud dengan aqra’ adalah
orang yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya, sebagaimana dalam hadits Amr bin
Salamah ra: “Hendaknya yang mengimami kalian adalah yang paling banyak
(hafalan) Al-Qur’annya.” (HR. Muslim: 289, Nasai: 780 dan Ahmad: 3/24, 48)
Jika ada dua orang, yang satu paling
banyak hafalannya dan yang satu lagi seorang faqih (tapi hafalannya tidak
banyak) maka yang menjadi imam adalah yang paling banyak hafalannya menurut
pendapat yang paling kuat. Namun, dengan syarat hendaknya ia paham terhadap
perkara-perkara yang wajib diketahui perihal shalat. Adapun jika ia jahil
(bodoh) maka tidak boleh jadi imam menurut kesepakatan para ulama.
Adab-adab
imam dalam shalat
1. Merapatkan
dan meluruskan shaf shalat
Dari Nu’man bin Basyir
ra berkata: “Rasulullah SAW meluruskan shaf-shaf kami hingga seolha-seolah
beliau sedang meluruskan kayu anak panah sehingga beliau melihat bahwasanya
kami telah paham (keharusan meluruskan shaf). Kemudian pada suatu hari beliau
keluar lalu berdiri (untuk shalat) hamper-hampir saja beliau bertakbir
tiba-tiba beliau melihat ada seseorang yang menonjolkan dadanya dari shaf maka
beliau bersabda: “Wahai hamba-hamba Allah! Kalian luruskan shaf-shaf kalian
atau Allah akan memalingkan antara wajah-wajah kalian.” (HR. Muslim: 436)
2. Menghadap
ke sutrah
Dari Abu Sa’id
al-Khudri ra, secara marfu’ (sampai
kepada Rasulullah SAW): “Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat,
maka hendaknya ia mendekati sutraaahhh.” (Hadits Hasan Shahih. Lihat Shahih
Sunan Abi Dawud: 1/135)
Sutrah adalah pembatas
antara orang yang shalat dengan kiblat sehingga tidak ada sesuatu yang lewat
antara orang yang shalat dengan sutrah tersebut. Sutrah dapat berupa tembok,
tiang, punggung manusia, hewan yang menderum, tombak, atau sesuatu yang
tingginya minimal setara dengan pelana unta, sebagaimana dalam hadits Muslim
no. 499. Pelana unta setinggi satu hasta seperti yang telah dijelaskan oleh
Atha’, Qatadah, Ats-Tsauri dan Nafi’. Sedangkan yang dimaksud dengan satu hasta
adalah antara ujung siku sampai ujung jari tengah. Jika diukur, maka tingginya
sekitar 46,2 cm atau setinggi dua jengkal. Lihat Lsianul Arab (3/1495), Mu’jam
Lughah al-Fuqaha’ (hal. 450-451)
3. Meringankan sholat
dengan cara menjaga kesempurnaannya
Rasulullah SAW
bersabda : “Jika salah seorang di
antara kalian mengimami manusia maka
hendak nya ia meringankan (shalatnya ) , karena di antara mereka ada anak kecil , orang tua , orang sakit
(orang yang ada kebutuhan ). Maka jika
ia shalat sendirian maka shalatnya semaunya saja (memperpanjang,
Pen )”.( HR.Bukhari : 703 dan Muslim: 467)
Anas
bin Malik RA berkata : “Adalah
rasulullah SAW memendekkan shalat dan menyempurnakannya”. (HR. Bukhari:
706 dan Muslim: 469)
Takhfif (meringankan )ada dua macam :
Pertama : takhfif lazim (tetap ) yaitu takhfif
yang tidak melampaui petunjuk
nabi (sunnah) maka jika sampai
melewati batasan sunnah maka ini
termasuk memperpanjang alias tidak
takhfif (dan terlarang ,PEN ) .
sebagaimana sabda beliau :”jika salah
seorang di antara kalian
menjadi imam maka hendaknya ia meringankan “. (HR.Bukhari :703 dan muslim
:467)
Kedua
:takhfif ,aaridh(tidak tetap )yaitu
munculnya suatu sebab yang mengharuskan
untuk meringankan shalatdi bawah takhfif
yang dating dalam sunnah . sebagai
mana yang di lakukan Rasulullah SAW tatkala mendengar tangisan bayi. Kedua
takhfif ini adalah sunnah nabi SAW.
Bagaimana
Takhfif yang Sunnah ?
Takhfif di atas masih bersifat
mutlak (umum), yang seharusnya dikembalikan pada tuntunan Nabi dan apa yang
beliau lakukan, sedang petunjuk yang beliau lakukan adalah hakim yang
memutuskan perkara yang diperselisihkan.
Ibnu Umar ra menuturkan: “Adalah
Rasulullah SAW menyuruh kami untuk meringankan shalat dan beliau membaca surat
ash-Shaaffaat tatkala mengimami kami. (Shahih Sunan Nasai 1/272)
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Maka
membaca surat ash-Shaaffaat adalah takhfif yang diperintahkan, Wallahu A’lam.”
(Zahul Ma’ad, 1/214)
1. Rakaat
pertama hendaknya lebih panjang dari rakaat kedua
Dari Abu Sa’id
al-Khudri ra berkata: “Sungguh shalat dzuhur sedang ditegakkan, maka ada salah
seorang pergi ke Baqi’ untuk menunaikan hajatnya kemudian ia mendatangi
keluarganya lalu berwudhu’ kemudian ia kembali ke masjid sedangkan Rasululllah
SAW masih pada rakaat pertama karena beliau memanjangkannya. (HR. Muslim: 454)
2. Dua
rakaat pertama lebih panjang dari dua rakaat terakhir pada setiap shalat
Sebagaimana dalam hadits Jabir bin
Samurah ra bahwasanya Sa’ad ra berkata kepada Umar bin Khaththab ra:
“Sesungguhnya aku mengimami mereka sebagaimana shalatnya Rasulullah SAW. Dan
tidaklah aku menyimpang dalam shalat tersebut. Sesungguhnya aku hanya
memanjangkan dua rakaat pertama dan memendekkan dua rakaat lainnya.” (HR.
Bukhari: 770 dan Muslim: 453)
3. Memperhatikan
perkara yang lebih maslahat bagi makmum selama tidak menyelisihi sunnah
Sebagaimana dalam hadits Jabir ra
bahwasanya Rasulullah SAW menyegerakan (mengawalkan) shalat isya’ jika para
sahabat sudah berkumpul dan beliau mengakhirkannya jika mereka belum berkumpul.
(HR. Bukhari: 560 dan Muslim: 646)
4. Tidak
shalat sunnah pada tempat ia shalat fardhu di situ
Dari al-Mughirah bin Syu’bah ra secara
marfu’ (sampai kepada Rasulullah SAW) berkata: “Janganlah imam shalat subbah
pada tempat yang ia shalat fardhu di situ hingga ia bergeser. (Dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Misykatul Mashabih: 1/300)
Dan diantara para sahabat yang membenci
perkara ini adalah Ali bin Abi Thalib ra, Ibnu Umar ra, Abdullah bin Amr ra,
Abu Hurairah ra, Muawiyyah ra, dan dari kalangan tabi’in adalah Sa’id bin
Musayyib dan Hasan al-Bashri. Demikian pula Imam Ahmad, Imam an-Nawawi, dan
Imam asy-Syaukani.
5. Menghadapkan
wajah ke hadapan makmum sesudah salam
Dari Samurah bin Jundub ra berkata:
“Adalah Rasulullah saw jika telah shalat maka beliau menghadapkan wajahnya pada
kami.” (HR. Bukhari: 845)
Imam Bukhari berkata: “Bab, Imam menghadap makmum jika telah salam”. (Fathul
Bari, 2/430)
6. Tidak
berlama-lama duduk menghadap kiblat setelah salam
Dari Aisyah ra: “Adalah Rasulullah SAW tidak duduk
(setelah salam, Pen.) kecuali hanya sekedar membaca :
Kemudian beliau menghadap ke arah makmum.” (HR.
Buhkari: 845 dan Muslim: 591)
1. Tidak
mengkhususkan do’a untuk dirinya sendiri
Dari Abu Hurairah ra secara marfu’
(sampai kepada Rasulullah SAW): “Tidak halal bagi orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk mengimani suatu kaum kecuali dengan izin mereka, dan
janganlah ia mengkhususkan do’a untuk dirinya sendiri tanpa mengikut sertakan
makmumnya maka jika ia melakukan itu sngguh ia telah berkhianat.” (Shahih Sunan
Abi Dawud, 1/35)
2. Menghadap
makmum setelah salam kadang ke arah kanan dan ke kiri
Ibnu Mas’ud ra berkata: “Janganlah
sampai ada diantara kalian ada di antara kalian memberikan pada syaithan
sefikitpun dari shalatnya, di mana ia melihat bahwa yang benar adalah tidak
berpaling kecuali ke arah kanan, sungguh aku sering melihat Rasulullah SAW
berpaling ke arah kiri.” (HR. Bukhari: 852 dan Muslim:707)
Namun di sana ada hadits lain yang
menyebutkan sebaliknya, yaitu hadits dari sahabat Anas bin Malik ra beliau
berkata, “Adapun saya sering melihat beliau berpaling ke arah kanan.” Dalam
lafadz Muslim: “Rasulullah saw berpaling ke arah kanan.” (HR. Muslim: 708)
Imam Nawawi mengatakan: “Maka cara
menggabungkan kedua hadits tersebut adalah bahwasanya Nabi SAW terkadang
berbuat begini (menghadap ke kiri) dan kadang berbuat begini (menghadap ke arah
kanan).” (Syarh Shahih Muslim, 5/227 dan Fathul Bari, 2/338)
3. Tidak
shalat pada tempat yang sangat tinggi dari para makmum kecuali ia bersama
sebagian shaf dan adapun makmum maka tidak mengapa. (Syarh Mumti’: 4/423-426,
al-Mughni: 3/48, dan Fiqh Sunnah: 1/311)
Itulah beberapa adab yang harus
diperhatikan bagi imam shalat berjamaah, mudah-mudahan menjadi pegangan
berharga bagi setiap imam yang ingin untuk mengikuti sunah Nabi yang mulia.
Wallahu A’lam.
∞ Abu Lutfia al-Atsari